SURVEY merupakan salah satu metode yang sering dipakai untuk mengetahui preferensi para pemilih. Melalui survei para peneliti bisa membuat generalisasi dan pada akhirnya bisa membuat ramalan tentang kandidat atau partai mana yang lebih memiliki peluang memenangkan kontestasi/pemilu.
Pada awalnya, ketika metode itu dipakai menjelang Pilpres 2004, banyak orang dan politisi yang meremehkannya. Survei tidak lebih dipandang sebagai kembangan menjelang pelaksanaan Pilpres. Hal ini tidak lepas dari hasil survei awal, SBY mengungguli calon-calon lainnya. Padahal SBY berasal dari partai baru, PD, sedangkan calon lainnya berasal dari partai-partai besar. Para pengkritik itu berasumsi bahwa pilihan partai akan berbanding lurus dengan pilihan calon presiden.
Ketika hasil Pilpres mirip dengan hasil survey, barulah banyak orang terbelalak. Lebih-lebih para pelaku survei itu juga melakukan quick count hasil pemilihan, yang hasilnya mendekati hasil penghitungan secara manual. Orang bertambah percaya pada hasil survei. Bahkan, para penyelenggara survey kemudian disebut ‘dukun politik’. Merekapun mulai banyak dilirik dan laris manis.
Sejak saat itu, muncul lembaga survei baru. Kemunculan ini berseiring dengan perubahan sistem pemilihan kepala daerah, dari sistem perwakilan ke sistem langsung. Kebutuhan memenangkan pemilihan berdasarkan data yang akurat kian kuat. Maka, lembaga survey lalu menjadi andalan untuk mengawal pencalonan itu.
Pesanan?
Belakangan muncul tudingan, lembaga survey yang tidak kredibel, melakukan survei berdasar pesanan. Ini setelah sejumlah lembaga survei melakukan release hasil surveinya mengenai calon-calon presiden yang diperkirakan akan memperoleh suara lebih berarti pada Pilpres 2014. Masing-masing lembaga me-release hasil yang cukup ‘mengejutkan’. Dalam satu lembaga, ada nama yang memperoleh suara cukup besar, di lembaga lain nama itu tidak muncul. Lho, kok bisa?
Spekulasi, bahkan tuduhan pun bermunculan. Ada lembaga-lembaga survey yang dianggap melakukan rekayasa untuk memenuhi pesanan calon atau kekuatan tertentu. Dengan kata lain, lembaga demikian dianggap tidak kredibel. Lembaga seperti ini kemudian dipandang tidak layak melakukan survei. Untuk menghindari lembaga seperti ini, muncul gagasan agar ada akreditasi lembaga survei.
Tuduhan bahwa ada lembaga survei yang dibayar bukan sesuatu yang baru. Bahkan, ketika ada survey menjelang Pilpres 2004, tuduhan serupa sempat muncul. Lebih-lebih hasil survei-nya dianggap tidak jamak karena tidak seperti yang diasumsikan.
Tuduhan semacam itu memang tidak sepenuhnya salah. Bagaimanapun juga, lembaga survey pada akhirnya merupakan lembaga profesional, yang melakukan survei berdasarkan ‘pesanan’, yaitu calon, partai atau kelompok lain yang membutuhkannya . Untuk melakukan survei sendiri dibutuhkan biaya yang tidak ringan, karena itu justru menjadi ‘aneh’ ketika ada lembaga survey yang terus menerus melakukan survei tanpa ada yang membiayainya.
Memang, dalam situasi tertentu ada lembaga survey yang betul-betul ‘independent’, tidak terkait dengan calon atau partai tertentu. Lembaga demikian biasanya melakukan survey atas kepentingan akademik, dibiayai oleh lembaga-lembaga yang tidak memiliki kepentingan di dalam pemilihan. Tetapi, untuk melakukan hal yang sama secara terus menerus biasanya sulit dilakukan karena kepentingan untuk membiayai survey secara akademik itu terbatas, sementara pemilu, termasuk pemilu kada dan pilpres, terus bergulir.
Meskipun demikian, adanya pihak yang melakukan pemesanan itu tidak berarti bahwa lembaga survey itu bisa melakukan sesuatu seenaknya sendiri. Kaidah-kaidah di dalam melakukan survei, agar berlangsung secara obyektif dan minimalisasi kesalahan (eror), tetap harus dijaga.
Hal seperti itu dilakukan bukan semata-mata untuk kepentingan menjaga kredibilitas atau kebenaran, melainkan juga untuk keberlangsungan lembaga survey itu sendiri. Ketika lembaga survey merekayasa data, ketika itu pula lembaga itu akan mengalami masalah di dalam melakukan generalissi. Konsekuensinya, ramalan yang dimunculkan juga lebih banyak salahnya.
Konsekuensi lanjutannya adalah, kepercayaan publik, termasuk para (calon) klien, terhadap lembaga demikian akan menurun. Kalau sudah demikian, lembaga demikian akan mengalami kesulitan di dalam menemukan klien lanjutan.
Memang, tidak menutup kemungkinan adanya lembaga survey melakukan release hasil survey yang ‘abal-abal’ untuk kepentingan propaganda. Hal ini dilakukan melalui pendekatan agenda setting, merekayasa hasil dan publikasinya, agar para pemilih terpengaruh oleh hasil itu.
Agenda setting semacam itu bisa dimungkinkan manakala tidak ada counter agenda setting yang kemungkinan akan dilakukan oleh lembaga survei yang lain. Konsekuensinya, akan muncul adu propaganda antara satu dengan yang lain. Di dalam situasi semacam ini, yang akan memenangkan adu data dan argumentasi bukanlah lembaga survei yang lebih mengutamakan propaganda semacam itu, melainkan lembaga survei yang berpegang pada urusan kredibilitas di dalam melakukan survei.
Untuk Strategi
Keberadaan lembaga survei adalah sebuah keniscayaan di dalam system pemilihan terbuka dan berorientasi pasar seperti saat ini. Survey, baik yang dilakukan oleh lembaga survey yang independen, yang di*bayar, maupun oleh tim kampanye sendiri, merupakan sesuatu yang sangat penting di dalam menghadapi pemilihan.
Calon atau partai membutuhkan strategi tertentu untuk memenangkan pemilihan. Dalam menyusun strategi, dibutuhkan data yang akurat. Data demikian diperlukan, contohnya, untuk kepentingan segmentasi pemilih, seperti untuk mengetahui kebutuhan, profil, dan identifikasi segmen pemilih. Juga untuk melakukan positioning, membandingkan calon atau partai satu dengan yang lainnya. Di antara cara yang kredibel untuk melakukan semuanya ini adalah melalui survey.
Ketika mengetahui data yang akurat mengenai apa saja yang hendak diketahui, para konsultan yang melakukan survei, memang bisa membuat rekomendasi, termasuk strategi untuk mendongkrak suara bagi yang masih di bawah, dan strategi untuk mempertahankan dan meningkatkan posisi bagi yang ada di atas.
Tetapi, survey sendiri harus dilakukan secara akurat. Kalau tidak, rekomendasi yang dibuat itu bisa misleading. Yang akan merugi adalah pihak yang memesan dan lembaga survey yang menjadi konsultan itu.
Capres
Dalam hal survey yang di-realease oleh sejumlah lembaga survei yang kontradiktif itu, memang perlu ditelaah, apakah hal itu didasarkan untuk kepentingan propaganda atau agenda setting ataukah betul-betul didasarkan pada data yang obyektif?
Untuk ini publik sebenarnya tidak perlu risau. Survei itu tidak dilakukan oleh lembaga tunggal, melainkan banyak lembaga. Manakala ada yang melakukan rekayasa, secara otomatis akan di-counter oleh yang lain. Pada akhirnya publik sendiri yang bisa menentukan mana lembaga survei yang kredibel dan mana yang tidak.
Yang perlu kita cermati adalah dimunculkannya calon-calon presiden dalam kurun tiga tahun sebelum pelaksanaan pemilihan. Dalam taraf tertentu, ini merupakan sesuatu yang menggembirakan. Melalui pemunculan ini, publik mulai mengetahui dan melakukan penilaian-penilaian tentang calon yang lebih pas untuk presiden 2014.
Bagaimanapun juga, pilpres 2014 merupakan pemilihan yang cukup spesial untuk Indonesia. Pertama, pemilihan ini dilakukan ketika Indonesia berproses di dalam pematangan konsolidsi demokrasi. Ketika pemilu 2014 bisa berlangsung secara baik, mampu menghasilkan anggota DPR/D, DPD, dan presiden/wapres yang baik, Indonesia akan melaju di dalam track yang lebih tepat.
Kedua, sejauh ini belum diketahui secara pasti siapa calon yang lebih pas untuk Pilpres 2014. Hal ini tidak lepas dari realitas bahwa Presiden SBY tidak mungkin mencalonkan lagi. Sementara itu, Wakil Presiden Boediono sejak awal tidak dianggap sebagai tandem, untuk maju pada Pilpres 2014. Konsekuensinya, persaingan akan berlangsung lebih terbuka, baik untuk orang-orang di seputar Presien SBY maupun untuk calon lain di luar lingkaran istana.
Hanya saja, pemunculan nama jauh hari sebelum pelaksanaan pilpres juga menjadi tantangan bagi capres. Masyarakat tidak saja akan menilai kekekuatan, melainkan juga kelemahannya. Jatuh bangun di dalam proses pencalonan yang panjang, tidak saja membutuhkan biaya yang besar, tetapi juga melelahkan. Calon yang menyimpan banyak kelemahan akan mudah tersingkir.
Oleh :Kacung Marijan, Guru Besar Universitas Airlangga dan Staf Ahli Mendikbud
source: http://beritahr.com